Mereka Yang Berdiri Dengan Hati

Militansi Jiwa dan Nurani

Daffa R Farandi
5 min readApr 10, 2024
Photo by Sid Balachandran on Unsplash

Ramadhan ini cukup mengesankan karena aku menemukan hal-hal baru yang berbeda dalam perjalanan demi perjalanan, i’tikaf demi i’tikaf, tarawih demi tarawih di Kota Bandung. Kala itu memang sempat kutanyakan ke beberapa rekan pertanyaan dari salah satu temanku

Tarawih yang bacaannya sejuz dimana yages? Ada yang nanyain nih

Tentu mulai bermunculan jawaban dari rekan-rekan di grup wa kala itu, Salah satunya adalah Masjid Habiburrahman. Katanya, tarawih disana 1 juz dan ada sholat tahajud yang dijalankan dengan bacaan 2 juz. Jadi total 3 juz. Sempet terpikir dalam diriku akan sesepi apa masjidnya, tapi ada yang bilang juga ramai sampai ada yang menggelar tenda-tenda di selasar masjid. Agak membuat penasaran juga.

Dalam satu momen waktu luang tidak ada tugas untuk ke masjid tertentu, akhirnya kucoba untuk kesana. Waktu itu malam 25 Ramadhan. Coba berangkat setelah maghrib dan datang pas sholat isya. Salah satu hal yang jadi trigger kala itu adalah salah satu pengisi dari masjid tersebut adalah Ust. Abdul Aziz Abdul Rouf Al Hafidz.

Ust KH. Abdul Aziz Abdur Rauf

Kalau biasa mengulik isi quran secara halaman per halaman sampe ke cover dan tulisan setelah qurannya, kalian akan mendapati nama beliau sebagai salah satu pentahqiq Al-Quran Nasional. Pentahqiq itu mereka yang melakukan review, check, and balance terhadap satu bacaan untuk memastikan keotentikan konten dalam bacaan itu. Menjadi sangat spesial kalau bacaannya adalah Al-Quran karena pastinya yang ngecek bukan manusia sembarangan.

Sempat tahu beliau juga melalui tulisannya terkait ilmu tajwid. Buku-bukunya cukup menginspirasi untuk mereka yang mau dan sedang membaca al-quran.

Aku terkaget ketika mengikut sholat tarawih 1 juz dan lebih terkaget lagi ketika mengikut agenda sholat tahajud di pukul 01.00. Ini ketika tarawih dulu deh ya. Kalau melihat secara teliti (postur tubuh dan pakaian), jamaah disana itu ternyata bukan hanya anak muda, tapi orang tua, anak SD dan SMP juga turut hadir dan ikut serta dalam sholat. Jujur waktu itu belum paham kenapa mereka bisa kuat berdiri.

Ketika sholat tahajud, sebelumnya kita dibangunkan pukul 00.30, kemudian bersiap untuk memulai sholat pukul 01.00. Nah ketika sholat memasuki rakaat ke 4, itukan ada aja jeda sebentar, aku coba melihat ke belakang dan cukup kaget ketika melihat shaf yang terisi itu sampai 7 Shaf. Belum dengan shaf bagian cewe. Fyi, ukuran shaf Masjid ini lebih besar dari Masjid Salman ITB. Satu shaf masjid salman ITB itu bisa muat 55 jamaah, kalau mau diestimasi mungkin satu shaf Masjid ini bisa muat 85–90 orang.

Hal yang paling menarik kutemui adalah mereka mampu berdiri dari jam 01.00–04.00 untuk sholat dengan bacaan imam kurang lebih 2.5 juz yang terdiri dari dari kurang lebih 53 halaman atau 795 baris al-quran. Kemudian dibacakan pula qunut nazilah dengan durasi yang agak panjang (berkisar 15–20 menit). Pada momen ini pun, cukup terkaget karena hampir seluruh jamaah pecah isak tangisnya.

Fyi, Masjid Habiburrahman ini merupakan masjid yang terletak di Kompleks TNI Angkatan Udara dan PT Dirgantara Indonesia, dekat dengan lapangan udara husein sastranegara. Lokasinya agal pelosok dari pintu gerbang utama. Kalau TNI Angkatan Udara menjadi simbol militansi fikir dan fisik dalam bela negara, maka Masjid ini menjadi simbol militansi hati, jiwa, dan nurani dalam berserah diri kepada tuhannya. Kombinasi yang cukup menarik untuk ekosistem keamanan dan pertahanan negara. Walauapun belum tentu beririsan penggunanya.

Kalau direnungkan lebih dalam, dari segi komposisi jamaah, jamaah berasal dari berbagai macam daerah (terlihat dari jumlah motor yang cukup bejibun) dan buka hanya anggota TNI Angkatan Udara. Jamaahnya juga orang Indonesia yang notabenenya hanya sebagian kecil paham bahasa arab. Selain itu, (kalau diasumsikan) ada yang sudah sering sholat tahajud ada juga yang baru sholat ramadhan aja.

Tapi mereka kuat untuk berdiri 3 jam, menangis ketika qunut sepanjang 20 menit, bahkan merelakan waktu tidur (kurang dari 4jam) karena tarawih pun baru selesai pukul 09.00. Jujur ketika ikut sholat pun kaki terasa pegal dan agak sakit tapi kaget juga ketika bisa menyelesaikannya.

Jadi aku sedikit mempertanyakan, Apa sih yang membuat jamaah disini kuat berdiri selama itu dan memecahkan isak tangis padahal mereka ngga paham bacaan, pegal kaki juga, ada yang kesakitan juga, dsb?

Aku disana langsung teringat istilah berdiri dengan hati yang muncul ketika mendengar ceramah seorang ustadz terkait perjuangan nabi yang berdiri sholat malam dengan menghabiskan 5 juz bacaan quran (105 halaman atau 1575 baris) tiap malam kecuali dalam kondisi sakit atau berhalangan (yang mana jumlahnya sedikit). Dari dulu aku pribadi selalu berpikir “susah ya” atau “berat banget pasti” ketika menjalankan ini. Tapi ternyata ada pandangan lain yang kurasakan ketika ikut sholat disana.

Entah kenapa ada kesan yang begitu dalam dan memunculkan rasa kerinduan untuk selalu merasakan hal itu lagi ketika selesai sholat. Disitu aku mulai berpikir, mereka yang sudah sholat disini sejak beberapa hari yang lalu, atau sudah menjalankan agenda ini dari tahun-tahun sebelumnya, mereka menjalankan ini bukan karena formalitas atau ada paksaan. Tapi memang ada kenikmatan yang dalam di dalamnya.

Ketika menulis tentang tahajud dan sharing dengan ka Supri, jujur aku masih belum paham nikmat dari istirahat yang dimaksud seperti apa. Entah karena kuantitas bacaan atau rakaat yang minim. Tapi, ketika mengikuti agenda ini, aku jadi cukup paham apa nikmat istirahat yang dimaksud.

Setidaknya ada perasaan ingin mengulang hal itu di hari yang lain, ada perasaan bahagia ketika sholat dan ada rasa yang hilang ketika berakhir, ada semangat yang muncul karena merasakan apa yang Nabi Muhammad Saw lakukan dan benar benar merasakan berat dan letihnya seorang nabi untuk level aktivitas ibadah harian. Ada pula rasa ikatan yang kuat dengan orang-orang di sekitar itu. Sebagaimana dulu Muhammad Al Fatih memimpin sholat ribuan pasukan untuk sholat malam juga.

Selain itu, kita juga sebenernya perlu paham kalau prasyarat khusysu’ dalam sholat bukan dengan memahami bacaan imam. Kalau prasyaratnya demikian, Orang arab harusnya bisa lebih khusyu’ sholat padahal sebagian dari mereka juga bermaksiat.

Obrolan dari Ust. Muhammad Nuzul Dzikri, Lc (semoga allah jaga beliau) ini cukup menarik. Beliau membahas bahwa kekuatan khusyu’ terdapat pada hati, seberapa kuat mampu menghalau serta menguasai hawa nafsu dan syahwat.

Tulisan dari salah satu buku Ibnul Qayyim Al Jauzi yang dipaparkan Ust. Nuzul

Jadi, sejauh ini aku baru bisa menyimpulkan bahwa orang-orang di Masjid Habiburrahman itu mereka kuat berdiri bukan dengan fisik, bukan dengan fisik, dan bukan pula dengan iming-iming. Mereka adalah orang-orang yang berdiri dengan hati dan benar-benar terpaut kemudian menguasai diri.

--

--

Daffa R Farandi

Ketika hati menyeru dan terpancing menggerutu sedang lisan tak mampu mengungkapkan maumu, menulis akan membantumu